Sabtu, 03 Desember 2011

UPAYA PENINGKATAN KINERJA MELALUI PENERAPAN METODE LEAN SIX SIGMA GUNA MENGURANGI

Abstrak
Non-value added activities (aktivitas yang tidak bernilai tambah) atau dikenal juga dengan pemborosan dapat dikenali melalui beberapa aktivitas, yaitu: produksi yang berlebih (over production), gerakan yang tidak dibutuhkan (motion), persediaan berlebihan (inventory), transportasi (transportation), menunggu (waiting), dan cacat (defect). Dalam Lean Six Sigma dilakukan suatu  pendekatan sistemik dan sistematik untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan atau aktifitas - aktifitas yang tidak bernilai tambah tersebut  melalui peningkatan terus menerus untuk mencapai tingkat kinerja enam (six) sigma. Sebagai contoh pada suatu kasus dalam proses produksi di PT X, sebuah perusahaan produsen minuman dalam kemasan, ditemukan adanya cacat produk. Cacat produk tersebut menjadi salah satu bagian dari waste proses produksi yang relatif tinggi sebagai indikator adanya ketidakefisienan mesin. Besaran cacat mencapai 41,46% dari total produksi. Maka dalam hal ini dilakukan upaya peningkatan kinerja proses dan kualitas produk melalui pengurangan atau penghilangan waste yang ada. Dengan menggunakan metode Lean Six Sigma diperoleh peningkatan kinerja menjadi 52,88% dan tingkat sigma yang dicapai oleh perusahaan adalah 4,98. Dengan adanya peningkatan kinerja maka diharapkan kegiatan proses produksi dapat berjalan dengan efektif, biaya menjadi lebih efisien, serta energi pun dapat digunakan secara optimal.

Kata kunci: Kinerja, Lean Six Sigma, Non Value Added Activities, Waste

Pendahuluan
Dalam penelitian ini digunakan penerapan Lean Six Sigma sebagai upaya guna melakukan peningkatan kinerja. Metode ini dipilih dikarenakan adanya persamaan dengan karakteristik masalah yang ada, yakni adanya waste pada proses. Tujuan utama metode Lean Six Sigma yaitu menghilangkan waste yang terjadi dalam proses sekaligus meningkatkan kapabilitas pada proses. Diharapkan dengan berkurangnya waste maka akan meningkatkan proses sehingga pada akhirnya akan dapat meningkatkan kinerja perusahaan.

Kinerja dan Lean Six Sigma
Terdapat beberapa pengertian terkait dengan kinerja. Menurut Bernardin dan Russel dalam Sulistiyani (2003 : 223-224) menyatakan bahwa kinerja merupakan catatan outcome yang dihasilkan dari kegiatan yang dilakukan selama periode waktu tertentu.
Kinerja sebagai hasil-hasil fungsi pekerjaan/kegiatan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu (Tika, 2006).
Lean Six Sigma merupakan kombinasi antara Lean dan Six Sigma dapat didefinisikan sebagai filosofi bisnis, pendekatan sistemik dan sistematik untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan atau aktifitas - aktifitas yang tidak bernilai tambah (non value added activities) melalui peningkatan terus menerus untuk mencapai tingkat kinerja enam sigma, dengan cara mengalirkan produk (material, work in proces, output) dari pelanggan internal dan external untuk mengejar keunggulan dan kesempurnaan berupa hanya memproduksi 3,4 cacat untuk setiap satu juta kesempatan atau operasi (3.4 DPMO). (Gasperz. 2006, hal 1-2).
Integrasi antara Lean dan Six Sigma akan meningkatkan kinerja melalui peningkatan kecepatan dan akurasi (zero defect). Pendekatan Lean akan memperlihatkan non value added (NVA) dan value added (VA) serta membuat value added mengalir secara lancar sepanjang value stream process, sedangkan Six Sigma akan mereduksi variasi dari value added itu. (Gasperz. 2006, hal 9).

Key Performance Indicators
Key performance indicators (atau sering disingkat KPI) diartikan indikator kinerja kunci, sejatinya memang sebuah elemen vital dalam setiap proses pengelolaan kinerja perusahaan. KPI sendiri merupakan serangkaian indikator kunci yang bersifat terukur, dan memberikan informasi kepada kita sejauh mana kita berhasil mencapai sasaran kinerja yang dibebankan kepada kita. Indikator KPI juga merujuk pada hasil kerja kita (output kerja). Ukuran keberhasilan harus menunjukkan indikator kinerja yang jelas, spesifik dan terukur (measurable). Dengan mengetahui indikator KPI ini maka kita dapat mengetahui pemborosan yang telah terjadi sehingga dapat dilakukan langkah-langkah perbaikan.
Dalam tahap ini ditentukan terlebih dahulu hal-hal yang menjadi Key Performance Indikators (KPIs) kemudian diolah data - data yang untuk dibandingkan dengan KPIs yang telah ditentukan. Dari hasil perbandingan ini dapat diketahui apakah tingkat kemampuan dari proses sudah sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan atau belum.
Dari identifikasi waste yang ada dapat kita lihat bahwa kendala terbesar yang dihadapi perusahaan, maka KPI yang ditentukan adalah sebagai berikut :
1.      Total Lead Time (TLT) adalah besaran yang menunjukkan besarnya waktu yang digunakan oleh suatu proses untuk mengubah raw materials menjadi barang jadi ataupun barang sengah jadi. Semakin kecil nilai Total Lead Time (TLT) semakin baik proses yang ada.
Dalam hal ini dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa total waktu yang dibutuhkan untuk memproses raw material menjadi produk jadi adalah : 840 + 355 + 120 = 1.315 menit.
Tabel 1. Data Perhitungan Value Add dan Non Value Add
Process
Value Add
(VA)
(Menit)
Business Non Value Add (BNVA)
(Menit)
Non Value Add
(NVA)
(Menit)
Waktu Total (Menit)
Soft Treat Water Treatment
330
480
30
840
Extract Teh
275

80
355
Filling
90

30
120
Total Waktu
695
480
140
1.315
 (Sumber : dari pengolahan data)
2.      Process Cycle Time (PCE) adalah salah satu ukuran yang menggambarkan seberapa efisien suatu proses berjalan. PCE merupakan perbandingan antara Value Add (VA) dan Total Lead Time. Dimana semakin besar nilai hasil perbandingan maka dapat dikatakan bahwa proses berjalan semakin efisien.
Process Cycle Efficiency (PCE) adalah perbandingan antara Value Add (VA) dan Total Lead Time.
PCE =  x 100 % = x 100 % = 52,85%
Dari perhitungan diatas dapat kita lihat bahwa PCE adalah 52,85 % dimana nilai ini menunjukkan bahwa peluang untuk peningkatan Eficiency system masih sangat besar.
3.        Sigma Level adalah tingkat sigma yang akan dicapai perusahaan, nilai sigma dipilih karena nilai sigma bisa menggambarkan kapabilitas proses yang dilakukan oleh perusahaan. Dimana jika semakin tinggi kapabilitas maka semakin kecil jumlah defect dalam proses. 
Penentuan sigma level ditentukan melalui penentuan CTQ (Critical To Quality) dan DPMO (Defect per Million Opportunity).
-       CTQ (Critical To Quality). Dari data yang diperoleh, ada 6 karakteristik yang termasuk kedalam CTQ, yaitu : Filling Height, No Crown, Dirty Full, Breakage Full, Out of Specification dan Test Laborat.
-       Menghitung DPMO = Defect Per Million Opportunities (kemungkinan gagal (kesalahan) per satu juta kesempatan), dengan rumus
Untuk DPMO dan tingkat sigma proses secara keseluruhan ditentukan :
Hasil perhitungan nilai DPMO dan tingkat sigma ditampilkan dalam Tabel 2 berikut :
Tabel 2. Perhitungan Nilai DPMO dan Tingkat Sigma
No Sample
Jumlah Produk Diperiksa
Bagian Tak Sesuai
CTQ Penyebab ketidaksesuaian
DPMO
Sigma
1
9090
31,44
6
576,4576
4,75
2
9180
36,25
6
658,1336
4,71
3
9117
32,13
6
587,3643
4,74
4
9195
26,79
6
485,59
4,8
5
9126
18,93
6
354,7155
4,89
6
9143
17,88
6
325,9324
4,91
7
9144
17,43
6
317,6947
4,92
8
9041
37,29
6
687,3799
4,7
9
9161
24,76
6
450,4603
4,82
10
9156
19,26
6
350,7047
4,89
11
9153
22,3
6
406,0599
4,85
12
9144
22,12
6
403,1788
4,85
13
9144
19,28
6
351,4144
4,89
14
9136
43,13
6
786,8141
4,66
15
9167
22,84
6
415,2576
4,84
16
9180
18,88
6
342,7741
4,9
17
9098
16,05
6
294,0207
4,94
18
9099
12,56
6
230,0619
5
19
9107
14,55
6
266,2787
4,96
20
9135
16,63
6
303,4118
4,93
21
9006
24,76
6
458,213
4,82
22
9186
36,38
6
660,0624
4,71
23
9134
20,83
6
380,0817
4,87
24
9125
14,45
6
263,9269
4,97
25
9125
10,14
6
185,2055
5,06
26
9095
14,63
6
268,096
4,96
27
9108
16,83
6
307,971
4,93
28
9183
12,21
6
221,6051
5,01
29
9117
20,04
6
366,3486
4,88
30
9164
13,67
6
248,6178
4,98
Total
273956
654,44
6
398,141
4,85
    (Sumber:  hasil dari pengolahan data)
Selanjutnya, melalui konversi DPMO ke nilai sigma diketahui bahwa untuk nilai DPMO = 398,141 adalah paling dekat dengan DPMO = 404 dengan nilai sigma = 4,85.

Pemborosan (waste)
Dalam metode Lean Six Sigma ada 7 waste yang harus diidentifikasi yakni : overproduction, delays (waiting time), transportation, processses, inventories, motions, defectives products. Dari perhitungan besarnya waste diatas, maka dapat diketahui besarnya nilai waste untuk masing – masing jenis waste sebagai berikut :

Tabel 3. Data Besarnya Nilai Waste
No
Jenis Waste
Waste
Waktu (minutes)
Produk (Krat)
1
Waste Over Productions


2
Waste Delays
815

3
Waste Transportation


4
Waste Processes
4028,45

5
Waste Inventories


6
Waste Defectives Product

654,44
7
Waste Motion


                                 (Sumber: hasil dari pengolahan data)

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa nilai waste tertinggi ada pada jenis waste processes. Maka selanjutnya hanya akan dilakukan analisa pada waste processes.Untuk mengetahui penyebab terjadinya waste processes, maka berikut diurai pada Fish Bone Diagram :
Gambar 1. Fish Bone Diagram dari Terjadinya Waste Processes

Analisa kemudian dilanjutkan dengan menggunakan metode FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) dan diperoleh besaran RPN (Risk Priority Number) sebagai berikut :

Tabel 4. Angka Prioritas Resiko (RPN)
Jenis Kegagalan Potensial
Penyebab
SEV
OCC
DET
RPN
Waste Process
a. Operator kelelahan
1
3
2
6
b. Botol rubuh dikonveyor
1
4
2
8
c.  Pengisian produk tidak stabil
4
4
3
48
d. Ruangan kerja tidak nyaman
2
4
3
24
Dari analisa besarnya waste diketahui bahwa waste yang terbesar adalah waste process sedangkan analisa dari FMEA diketahui bahwa penyebab waste yang direkomendasikan untuk diprioritaskan dalam penangannanya adalah pengisian produk tidak stabil.

Tabel 5. Tindakan Perbaikan
No
Penyebab Waste
Usulan Tindakan Perbaikan
Usulan Tipe Maintenance
Pengisian Tidak Stabil
1

Filling Valve
Penggantian 10 pegas pada Filling Valve yang sudah tidak normal
Preventive Maintenance (penggantian setiap 20.000 jam operasi)
2
Lift Cylinder
Penggantian 6 Bearing pada lift cylinder yang sudah aus
Preventive Maintenance (penggantian setiap 15.000 jam operasi)
3
Tulib Rubber
Menyediakan Spare tulib rubber sebanyak 10 buah/bulan
Breakdown maintenance (persediaan 10 buah / bulan)
4
Ven Tube
Penggantian 10 buah ven tube yang rusak
Breakdown maintenance (persediaan 10 buah setiap 15.000 jam operasi)
Total Biaya
      (Sumber dari hasil pengolahan data dan informasi dari tim TOL)
Efek terhadap nilai KPI setelah dilakukan perbaikan
1.   Perhitungan Lead Time
Setelah proses perbaikan yang direkomendasikan, maka kecepatan mesin filter akan bertambah menjadi 262 bpm. Dimana waktu yang diperlukan untuk produksi 4,5 m3 syrup adalah 780,7 menit.
                            
                            
                             = 78,07 menit
Nilai ini sudah mengalami perbaikan sebesar 11,93 menit. Sehingga total lead time dapat kita hitung sebagai berikut
Tabel 6. Data Perhitungan Value Add & Lead Time
Process
Value Add
(VA)
Business Non Value Add (BNVA)
Non Value Add
(NVA)
Waktu Total (Menit)
Soft Treat Water Treatment
330
480
30
840
Extract Teh
275
-
80
355
Filling
78,07
-
30
138,07
Total Waktu
683,07
480
140
1303,07
Sehingga lead time untuk proses yang terpanjang adalah 1303,07 menit lebih kecil dari lead time sebelum diadakan perbaikan dengan selisihnya 11,93 menit.
2. Perhitungan PCE
Besarnya nilai Efisiensi mengalami kenaikan hal ini disebabkan nilai dari VA mengecil, sedangkan nilai dari NVA Dan BNVA tidak berkurang. Artinya usulan improve yang ada mampu memberikan pengurangan nilai NVA sebesar 3%.
3. Perbaikan Terhadap Nilai Sigma
Berdasarkan perkiraan dari beberapa supervisor di section Processing dan Section Maintenance & Engineering (TOL Dept), penggantian komponen – komponen penyebab pengisian yang tidak stabil akan mengurangi cacat produk sebagai berikut :
Tabel 7. Prosentase Perbaikan
No
Jenis Cacat
(%) Perbaikan
Jumlah Cacat
Sebelum Perbaikan
Setelah Perbaikan
1
Filling Height
80%
271,36
217,08
2
No Crown
10%
114,1
11,41
3
Breakage Full
20%
100,44
20,08
Total
485,90
248,57
(Sumber dari hasil pengolahan data dan hasil diskusi dengan Supervisor TOL)
Prosentase perbaikan adalah asumsi yang digunakan dalam pencapaian perbaikan dalam kurun waktu tertentu dan dijadikan standar nilai atau target.
Perhitungan peningkatan nilai sigma : Jumlah defect = DPO x (Jumlah Unit x Defect Opportunity). Sehingga apabila dilakukan perbaikan / penggantian peralatan sesuai rekomendasi diatas maka nilai sigma dari proses akan meningkat sebesar 0,13 atau defect produk akan berkurang menjadi 248,57 Krat.
Tabel 8. Peningkatan Nilai Sigma
No
Jumlah Unit
Sigma Value
Defect Opp.
DPMO
DPO
Jumlah Defect
1
273956
4,85
6
404
0,000404
458,90
2
273956
4,34
6
251
0,00251
248,57
Selisih
0,13

                             (Sumber dari hasil pengolahan data)
Kesimpulan
Terjadi peningkatan kinerja yang ditandai melalui peningkatan nilai KPI, yaitu :
-       Perbaikan Total Lead Time dari 1.315 menit, setelah dilakukan perbaikan menjadi 1.303 menit. Diperoleh peningkatan sebesar 12 menit.
-       Nilai efisiensi sebelum perbaikan adalah 52,85%, kemudian setelah dilakukan perbaikan naik menjadi 52,88%.
-       Perbaikan nilai sigma dari proses meningkat sebesar 13% dari 4,85 menjadi 4,98.
(Novi Marlyana)
 

Daftar Pustaka
Gasperz, Vincent, Pedoman Implementasi Program Six Sigma Terintegrasi Dengan ISO 9001:2000, MBNQA, dan HACCP,  PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.
George, Michael L., David Rowlands, Mark Price and John Maxey, The Six Sigma Pocket Tools Book,  Mc Graw Hill, New York, 2005.
George, Michael L., David Rowlands, and Bill Kastle., What is lean Six Sigma?,  Mc Graw Hill, New York, 2004.
Lukfiyati, Marlyana, Fatmawati, 2009, Upaya Pengurangan Waste Pada Proses Produksi Frestea 220 ml Dengan Metode Lean Six Sigma, Tugas Akhir, Unissula, Semarang
Tika, P, 2006, Budaya Organisasi Dan Peningkatan Kinerja Perusahaan, PT Bumi Aksara, Jakarta.
Sulistiyani, Ambar T. dan Rosidah, 2003, Manajemen Sumber Daya Manusia, Graha Ilmu: Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate